Dari TARINGBABI ke SAPIBETINA
Jarum jam berjalan dengan pasti, dari detik ke menit, jam demi jam kalian habiskan dalam aktivitas, rutinitas atau kreativitas nan mantrappss. Hari hari berlari, kalian pun berlari. Atau sembunyi. Tapi jarum sejarah terus berjalan, berdetak dalam hati. Tak ada yang bisa sembunyi... Mendingan mati aja, mortal. Tapi mata sejarah terus menerus mendelik, agar kita kudu memberi arti. Sekali berarti sudah itu mati...
"Ah, nada elo kok pesimis sich..." kata sebuah suara di sudut sana.
"Maksud elo?" suara yang lain bertanya, bimbang.
Tentu sekadar pengantar untuk tahun 2008 ini, tidak ingin atau berpretensi merangkum sebentuk heroisme, ketika berbicara tentang waktu dan sejarah. Tidak! Apalagi heroisme seperti yang termaktub dalam buku-buku pelajaran sekolah versi resmi penguasa, yang terus menerus digelontorkan kepada para murid, dengan pelbagai revisi, bahkan berujung dengan pembakaran buku --ketika ada suara yang lain, sejarah versi lain, yang dibukukan.
Heroisme, tidak harus muncul dari peristiwa-perisitiwa besar, yang melibatkan orang-orang besar, pembesar. Heroisme juga bisa muncul dari peristiwa-perisrtiwa kecil, melibatkan semua orang -- tanpa mengenal kelas-kasta atau pendidikan. Heroisme muncul dari sebuah sikap yang peduli, mengALAMi waktu dan kejadian, sehingga muncul kearifan (wisdom).
Heroisme muncul dari sikap keseharian --muncul dari dalam/luar diri kita. Kita adalah semesta, semesta adalah kita. Antara semesta dan kita, keduanya eksis, tanpa saling mendominasi serta membinasakan. Antara rumbut dan kita, misalnya, adalah sama-sama makhluk hidup. Rumput dapat mati, kita pun bisa mampus. Misal: ketika ada diantara kita membakar padang rerumputan, maka logikanya, kita membakar manusia sekampung. Akal-budi yang demikian memang tidak populer, di jaman modern, yang telah terbiasa hidup dengan pola pikir subjek (manusia) menaklukkan alam (objek). Warisan Cartesian ini, setelah sekian abad, membuktikan ketamakan manusia: ketika manusia terus menerus mengeksploitasi alam, menggunduli hutan, mengeruk isi perut bumi, demi ekonomi berbasis industri, demi kemakmuran tuan dan nyonya kapitalis-borjuis yang bergaya hidup hedonistik. Akibatnya, kini banyak terjadi bencana alam di beberapa tempat, khususnya di Dunia Ketiga, sebuah wilayah atau tempat yang terus dieksploitasi negara-negara Dunia Pertama. Kini umat manusia bingung membaca alam semesta -- musim kemarau berkepanjangan, musim hujan jauh lebih panjang. Salju mencair di Kutub Utara, gelombang air laut naik, pulau-pulau tersapu gelombang dan tenggelam. Curah hujan tinggi. Banjir. Angin puting-beliung. Badai. Tanah longsor. Para petani gagal panen. Nelayan tak lagi melaut. Transportasi terputus. Listrik kaput. Halo? Halo!!! Halo-halo???!!!!
Di tahun 2008, tentu kami tidak pesimis. Segala pengALAMan kita di tahun-tahun yang silam, adalah rekam-jejak sekaligus pembelajaran, agar kita tidak kejeblos di lobang yang sama. Ingat, kata pengALAMan berdasarkan kosa kata ALAM. Kita menghormati eksistensi ALAM. Dunia pengalaman, bukan dunia penaklukkan alam. Kita mengALAMi waktu, melahirkan pengeTAHUan. Hanya yang mengALAMi, akan mengetahui sekaligus memahami hidupnya. Dengan berbekal itu, dia akan mengetahui siapa dirinya. "Kenali dirimu, maka kau mengenal dunia," kata seorang bijak.
Sebagai PUNK, pemuda urakan nan kreatif, masih banyak pekerjaan rumah yang cukup penting yang belum selesai, atau tak akan pernah final, seperti membongkar wacana beku pada komunitas punk, yang membawa pada miskin otak secara berjamaah di dalam underground society, yang terus menerus dikoarkan lewat congor-congor yang sempit pikiran. Tahun yang lalu, Taringbabi sebagai komunitas begitu keras mendapat sodokan segelintir orang, yang mengklaim dirinya sebagai pembesar punk, dengan laku lajak (over acting) mengobarkan permusuhan dan persaingan nan tidak sehat, memancing emosi dan ingin menguras energi kita. Apa yang dinamakan sebagai kampanye Anti Media yang disulut orang-orang itu, pasca penayangan "Generasi Punk" di televisi dan media-media yang lain. Lewat beberapa media kami mengajak berpolemik dengan segala argumentasi yang rasional, tentunya. Argumentasi yang rasional adalah parameter kami dalam membangun wacana/discourse, sekaligus komunitas, berdasarkan akal-budi yang sehat. Punk sebagai sebuah subkultur yang mendorong tumbuhnya demokrasi, mengacu pada rasionalitas. Menolak segala bentuk suara tunggal yang dikoarkan seorang tiran dan sekelompok pembesar, yang hanya mengeluarkan statements yang mengobarkan kebencian. Ketika kita memilih demokrasi sebagai sendi kehidupan, kebebasan berbicara dan berekspresi adalah suatu hal yang niscaya, tetapi tetap berpijak pada rasionalitas. Demokrasi adalah banyaknya suara-suara yang berkompetisi. Mari kita berkompetisi dalam gagasan atau ide rasional.Bukan arogansi, caci-maki, cemburu tanda tak mampu.
Kepada mereka yang menginginkan nama Taringbabi lenyap dari muka bumi ini, pada tahun 2008 keinginan kalian mungkin terpenuhi. Nama boleh lanyap, tetapi spirit Taringbabi akan terus menyala, moncer dan kian kinclong dalam hati sanibari. Bagi para pecemburu, yang menginginkan Taringbabi lenyap, walau cuma namanya pasti mereka akan mendabik dada, puas. Puas! Puas!! Puas!!!!
Kita memakai nama Taringbabi, karena terinspirasi pada kehidupan tribal beberapa kerabat kita yang hidup di beberapa daerah di Indonesia, yang menggunakan taringbabi sebagai penolak bala. Ternyata, ketika nama Taringbabi berkibar yang muncul di permukaan adalah memicu kebencian sekelompok kecil, para pembesar punk di Jakarta, yang heikkk cuaaahhhh... membunuh karakter kami.
Mungkin, emang sudah dari sononya, nama Taringbabi, yang terdiri dari kata Taring dan Babi, itu menyeramkan, sehingga memicu pihak-pihak lain merasa kurang nyaman, sebel, iri, be-te sehingga menyerang karakter kami terus menerus, walaupun kami selalu berbaik sangka, bahkan dengan ringan tangan turun membantu. Tapi masalahnya, mereka terkena sindrom TIKUS yang punya POLI, mempunyai dua wajah: di depan manis, di belakang ganas. Antara wajah dan hati tidak satu, nggak kompak. Mereka perlu pupur untuk membedaki wajah, agar terlihat ria jenaka!
Di depan publik dalam setiap gigs, sindrom TIKUS yang punya POLI, itu semakin menjadi-jadi, selalu mereka mengeluarkan 3 statements, tanpa penjelasan dan tidak rasional. Setelah itu, lagi-lagi si blaut selalu mencari dukungan atau mengklaim dirinya mendapat dukungan, dari sekian scene punk. Persis TIKUS yang punya POLI, di mana-mana memang sama, dan sindrom itu kini ada dalam segelintir blaut-blaut pembesar punk dalam underground society.
Selamat tahun baru 2008, selamat tinggal Taringbabi, dengan nama itu kita diberi kesempatan untuk belajar: siapa kawan, siapa lawan. Hidup terus berjalan, hanya yang kreatif tidak dilindas zaman. Di tahun baru, baik masehi maupun hijriah ini, komunitas kami pun mengusung nama baru, KOMUNITAS SAPIBETINA. Komunitas ini tentu akan membuka pintu selebar-lebarnya dengan kawan-kawan seperjuangan, dengan segala kalangan sonder para penindas. Komunitas ini, bagaikan sapi betina, akan lebih produktif dan kreatif lagi, memberi susu untuk kehidupan. So jangan bunuh Sapibetina, kalau mau berkorban pilih aja sapi jantan. Sayaaaappp, Jrooottzz!
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar